Berita  

Penjelasan Mengenai Halal dan Thayyib dalam QS. Al Baqarah ayat 168

Avatar of Jurnal Hukum Indonesia
Penjelasan Mengenai Halal dan Thayyib dalam QS. Al Baqarah ayat 168

Penjelasan Mengenai Halal dan Thayyib dalam QS. Al Baqarah ayat 168

YOGYAKARTA — Jurnal Hukum Indonesia.com.- Ajaran Islam merupakan pedoman sempurna bagi umat manusia dalam berbagai sendi kehidupan, termasuk makanan. Dalam QS. Al Baqarah ayat 168, Allah menyeru kepada umat manusia secara universal, tidak hanya orang beriman, agar selektif dalam memilih makanan yang setidaknya harus memenuhi dua syarat utama yaitu: halal dan thayyib.

“Pada QS. Al Baqarah ayat 168, Allah menyeru kepada umat manusia secara keseluruhan agar memiliki makanan yang halal dan yang bagus atau thayyib. Tentu praktik yang diperintahkan ini oleh Allah dijamin mendatangkan keuntungan dalam kesehatan, baik fisik maupun psikis, baik individu maupun sosial,” ujar Aly Aulia dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (26/01).

BACA JUGA :  Semarak HPN 2023 Kodim 0817 Gresik dukung giat KJJT sukseskan pasar rakyat HPN

Halal berasal dari bahasa Arab yang artinya terlepas, terbebas, dan lawan kata dari terikat. Artinya, kata Aly Aulia, barang halal adalah barang yang terbebas, terlepas, dibolehkan untuk diperlakukan, sedangkan lawannya adalah barang yang terikat, tidak boleh diperlakulan. Tidak diragukan bahwa halal adalah lawan haram. Rizki halal adalah rizki yang zatnya dan cara memperolehnya diperbolehkan oleh Islam.

Sedangkan thayyib mengandung arti baik, proporsional atau berkualitas dan bermanfaat. Makanan yang thayyib itu secara subyektif belum tentu baik dan bermanfaat. Perintah Al Quran agar mengkonsumsi makanan halal dan thayyib menunjukkan kasih sayang Allah kepada semua umat manusia. Mereka diundang untuk mengajaga kesehatan melalui konsumsi makanan. Orang yang membangkang dari petunjuk ini berarti menyengaja membawa dirinya ke jurang kehancuran, yang dalam bahasa agama disebut melaksanakan ajakan setan.

BACA JUGA :  Cakupan Program UHC Bangkalan Sasar Semua Kalangan Termasuk Bayi Baru Lahir

“Thayyib itu sifatnya subyektif. Misalnya, gula mungkin baik bagi sebagian orang tapi kurang baik bagi yang lain. Jadi memang harus proporsional, ini merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada semua manusia. Kalau membangkang dari petunjuk ini, maka dia sengaja membawa dirinya pada kehancuran,” kata anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.

Dosen Al Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini juga menjelaskan bahwa halal dan haram adalah soal boleh dan tidak boleh. Singkatnya, lebih kepada aspek hukum. Sedangkan baik (thayyib) atau buruk adalah sola etika dan kepatutan. Maka, perintah memakan yang halal dan yang thayyib bisa dimaknai sebagai gabungan antara hukum dan etika.

BACA JUGA :  Beri Penghormatan Terakhir, Kapolda Jatim Pimpin Upacara Pemberangkatan Jenazah Alm Dansat Brimob

“Tidak semua yang halal itu baik. Misalnya, daging kambing adalah halal tetapi tidak baik bagi orang-orang yang memiliki riwayat dan potensi penyakit kolesterol tinggi. Karenanya, dalam hal makanan dua unsur harus terpenuhi agar mendapatkan kemaslahatan untuk diri sendiri yaitu halal dan thayyib,” ujar Aly.

Journalist: Iwan

Tinggalkan Balasan